PEMILU SERENTAK TAHUN 2019
RABU, 17 APRIL 2019
PENGUMUMAN
GALERI
Sinopsis Penamaan RPP LAELANGI
02 Mei 2017 11:33:25

Pada giat Launching Rumah Pintar Pemilu LAELANGI KPU Kota Baubau yang berlangsung pada Sabtu, 29 April 2017 lalu. Jauh sebelum itu, tepatnya pada Senin, 13 Maret 2017 dilakukan rapat pleno rutin di internal KPU Kota Baubau yang salah satu pokok bahasannya yakni nama yang akan disematkan pada Rumah Pintar Pemilu KPU Kota Baubau.Pada rapat itu disepakati bahwa nama yang akan disematkan pada RPP KPU Kota Baubau yakni LAELANGI dan akan dibuatkan sinopsis penamaan RPP itu.

Berikut sinopsis penamaan Rumah Pintar Pemilu LAELANGI KPU Kota Baubau.

Jauh sebelum Montesqui mencetuskan ide tentang trias politica pada abad ke-18, yang kemudian menjadi acuan dalam pengembangan system demokrasi moderen, La Elangi, nama kecil La Ode La Elalangi, yakni Sultan Buton ke-4, bergelar Sultan Dayanu Ikhsanuddin, memerintah sejak 1597 hingga 1631 masehi, telah meletakkan system demokrasi dalam penyelenggaraan Negara Kesultanan Buton. Sistem demokrasi yang dicanangkannya meliputi pemisahan kekuasaan antar dua lembaga negara, Eksekutif dan Legislatif, serta mekanisme pengangkatan Sultan Buton melalui proses pemilihan terbatas. Sistem demokrasi ini dirumuskannya di dalam Undang-Undang Martabat Tujuh, yang kemudian ditetapkan menjadi konstitusi Kesultanan Buton pada tahun 1610.

Pengesahan Undang–Undang Martabat Tujuh sebagai konstitusi Kesultanan Buton buah karya La Elangi, yang di dalamnya memuat klausul tentang pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif, serta proses pengangkatan Sultan yang dilakukan melalui mekanisme pemilihan menjadi tonggak penting dalam transformasi peradaban Buton mengingat pengangkatan Sultan dan Raja-Raja Buton sebelum La Elangi naik tahta, mengacu pada system dinasti. Sebagai seorang ideolog yang memiliki visi cemerlang melintasi sekat-sekat masa depan, La Elangi memandang perlunya check and balances antar komponen masyarakat dalam penyelenggaraan negara. Untuk itu, pembelahan sosial masyarakat Buton melalui pengelompokan tradisional kaomu, walaka, dan papara, yang telah ada sebelumnya lebih diperkuat kedudukan dan fungsinya dalam penyelenggaraan Negara dengan menempatkan kaomu sebagai kelompok eksekutif, walaka selaku kelompok legislatif, dan papara selaku kelompok produktif. Dalam pembelahan sosial tersebut, Sultan dipilih dari lingkungan kaomu, yang kemudian membentuk kelompok eksekutif, sedangkan lembaga pengawas eksekutif, yang sekaligus menjadi representasi rakyat adalah walaka, yang membentuk kelompok legislatif.

Untuk menghindari konsentrasi kekuasaan, khususnya jabatan Sultan, dalam satu kerabat kaomu, maka kelompok sosial ini dibagi dalam tiga satuan kerabat yang disebut kamboru mboru talupalena (tiga tiang penyanggah kesultanan), terdiri dari : (i) kaomu tanayilandu, (ii) kaomu tapi-tapi, dan (iii) kaomu kumbewaha. Calon-calon Sultan direkrut dari kamboru mboru talu palena tersebut sehingga kedudukan ketiganya, tanayilandu, tapitapi, dan kumbewaha lebih menyerupai Partai Politik dalam praktek demokrasi moderen. Dalam rekruitmen calon-calon Sultan, kontestasi di antara ketiga kamboru mboru berlangsung ketat dan selektif, yang pada akhirnya menghasilkan tiga orang calon sebagai representasi dari masing-masing kamboru mboru. Ketiga calon inilah yang selanjutnya dipilih (afalia) menjadi Sultan.

Otoritas untuk memilih Sultan dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang disebut Siolimbona.   Dewan perwakilan ini beranggotakan Sembilan bhonto dan dua bhonto ogena selaku pimpinan dewan. Anggota dewan tersebut berasal dari kelompok walaka. Dewan inilah yang memiliki otoritas dalam proses penetapan Sultan, mulai dari tahapan perekrutan calon (tiliki), pemilihan (fali), pengumuman calon terpilih (sokaiana pau), hingga pelantikan Sultan terpilih (bulilingiana pau). Kecuali itu, Dewan Perwakilan Rakyat (Siolimbona) juga memiliki otoritas dalam menampung aspirasi rakyat (muunatana) sebagai bahan dalam perumusan suatu kebijakan.

Dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang diembannya, Sultan selaku pimpinan eksekutif mendapatkan pengawasan dari Dewan Perwakilan Rakyat (siolimbona) tersebut. Kesalahan yang diperbuatnya dalam menjalankan tugas dan wewenang sebagai Sultan dapat bermuara pada pemakzulan (pasabu), bahkan hukuman mati (gogoli). Dalam sejarah Buton (lihat, A.M. Zahari, 1977; La Ode Zaenu, 1984), tersebut beberapa sultan yang mengakhiri jabatannya karena dimakzulkan, bahkan Sultan ke-7, yang merupakan putra La Elangi sendiri, dijatuhi hukuman gogoli. Inilah wujud supremasi hukum di Negri Buton, bhone montete yinda posala-sala (tidak ada perbedaan bagi siapapun di depan hukum) termasuk Sultan sendiri.

Inilah sumbangsih La Elangi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan di Negri Buton yang diletakannya sejak tahun 1610. Melalui Undang-Undang Martabat Tujuh yang disusunnya, ia mencanangkan pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislative dalam penyelenggaraan negara, serta mereformasi system pengangkatan Sultan melalui mekanisme pemilihan terbatas. Melalui system yang dicanangkannya, kinerja lembaga eksekutif yang dipimpin Sultan dapat dikontrol, dan hukum memperoleh ruang penegakkan. Sistem demokrasi yang dicanangkan Sultan yang juga bergelar Oputa Mobholina Pauna (Sultan yang meninggalkan tahta sebelum masa pemerintahannya berakhir) inilah yang dipraktekkan dalam penyelenggaraan Negara Kesultanan Buton hingga kesultanan ini bubar tahun 1960.(**)

Berita Lainnya
STATISTIK SITUS
00108047
Hari Ini : 91
Minggu Ini : 855
Bulan Ini : 5189
Pengunjung Online : 01
ALAMAT
KPU Kota Baubau
Jl. Sultan Dayanu Ikhsanuddin No. 51
Kota Baubau - Sulawesi Tenggara
Telp/Fax: (0402) 2825721
E-mail: kpubaubau@yahoo.com
Copyright © 2017 Komisi Pemilihan Umum Kota Baubau. All rights reserved
Top